AI (Artificial Intelligence) Bisa Menulis Novel, Bagaimana Nasib Penulis?
Teknologi telah berkembang dengan begitu pesat. Kini Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan bahkan bisa menulis sebuah novel. Terdengar ngeri memang, namun kita memang sudah berada di era seperti ini. Jika dulu kita mendapati nama manusia asli terpampang di sampul depan novel sebagai penulisnya, kini nama AI pun bisa muncul di sana.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel didefinisikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya, dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Novel biasanya terdiri dari 400 halaman, dengan jumlah kata lebih dari 35.000. Oleh karena itu, membuat novel menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan membutuhkan banyak usaha dan waktu.
Tahun lalu, tepatnya pada bulan Agustus, kantor berita Korea Selatan Yonhap melaporkan bahwa penerbit Parambook mengklaim telah berhasil meluncurkan novel panjang pertama yang ditulis oleh AI untuk pembaca Korea Selatan. Berjudul “The World from Now On”, novel tersebut digarap oleh AI bernama Birampung dibawah arahan matematikawan dan penulis Kim Tae Yeon. Parambook juga mengklaim bahwa novel ini mungkin menjadi novel pertama yang ditulis AI dengan narasi yang tepat.
Nama Birampung sendiri mengacu pada badai dahsyat yang menyerang di awal dan akhir penciptaan alam semesta. AI ini dikembangkan oleh startup AI lokal bernama Dapumda dan perusahaan pemrosesan bahasa alami bernama Namaesseu.
Dalam pembuatannya, Kim mengarahkan AI untuk menulis novel melalui proses deep learning (pembelajaran mendalam), setelah memilihkan jalan cerita, latar belakang dan karakternya. Deep learning merupakan proses pembelajaran yang dilakukan oleh mesin dengan meniru cara kerja jaringan otak manusia. Teknologi deep learning telah diterapkan dalam berbagai produk berteknologi tinggi seperti self-driving car dan Google Translate.
Novel setebal 560 halaman ini menceritakan kisah lima orang dalam pencariannya masing-masing untuk memahami arti dari keberadaan manusia. Mereka adalah seorang matematikawan amatir yang cacat, seorang profesor matematika dan pengusaha, seorang psikiater, seorang astrofisikawan, dan seorang biksu Buddha.
Kim Tae Yeon membandingkan pekerjaannya ini dengan seorang sutradara film. Dia memberi “perintah” kepada Birampung, dan setelah memeriksa hasilnya, ia membuat penyesuaian yang diperlukan.
“Tulisan Birampung sebenarnya tidak perlu dikoreksi. Ini jelas dan menggunakan teknik tertentu. Yang terpenting, ia memiliki kemampuan luar biasa untuk menggambar detail spesifik dari pengetahuan yang diperolehnya,” kata Kim dalam paparannya, masih dari Yonhap.
Menurut Kim, Birampung diberi makan sekitar 1.000 buku perhari, termasuk beberapa buku miliknya. Kim sendiri telah menerbitkan lima novel panjang dan dua novel matematika.
Terkait alasannya memutuskan untuk memulai proyek ini, dalam konferensi media itu Kim mengatakan bahwa dia putus asa karena sifat penulisan yang berulang-ulang. “Saya tidak ingin mewariskan pengulangan ini kepada generasi mendatang,”ujarnya.
Kim yang menempuh pendidikan di jurusan teknik dan jurusan sastra Korea ini membutuhkan waktu 7 tahun untuk menyelesaikan novel tersebut.
Melihat fenomena seperti ini, pertanyaan yang kemudian timbul adalah “bagaimana nasib penulis jika AI bisa menulis novel?”. Dari proses yang Kim kemukakan, terlihat bahwa dia sendiri memiliki background sebagai seorang penulis. Di pun menempuh pendidikan jurusan sastra. Ini artinya novel ini tidak semata-mata dibuat oleh AI dari arahan orang yang bukan penulis, melainkan diarahkan pula oleh penulis.
Selain itu, kinerja AI Birampung pun tidaklah sempurna. Kim mengatakan terkadang Birampung bekerja terlalu detail atau menggunakan ekspresi yang berlebihan, sehingga saat itulah Kim harus turun tangan. “Saat itulah sutradara harus turun tangan dan berkata, ‘Hei, bukan itu yang saya maksud,'”, katanya.
Jika bicara soal waktu, Kim butuh 7 tahun untuk menyelesaikan novel ini. Sebuah waktu yang panjang. Jika tujuan penggunaan AI untuk mempercepat penulisan, sepertinya poin ini perlu dikaji kembali.
Seperti yang dikatakan Kim, bahwa perannya di sini adalah layaknya sutradara yang memberikan perintah kepada AI untuk bekerja, yang pada saatnya akan dia koreksi. Ini berarti fungsi AI dapat dikatakan sebagai kolaborator dalam menghasilkan suatu karya. Dengan teknologi AI sebuah karya memang bisa tercipta. Namun layaknya robot, karya yang dihasilkan akan kaku. Tetap diperlukan sentuhan manusia untuk membuat karya menjadi lebih manusiawi.
Sebagai pembaca, kita pasti juga menginginkan karya yang mengalir dan luwes. Keluwesan itulah yang hanya bisa dikerjakan oleh manusia yang berakal budi. Teknologi AI mungkin bisa membaca ribuan buku dan menghasilkan tulisan, namun karya itu akan terasa kering tanpa campur tangan manusia di dalamnya. Lalu, apakah peran penulis novel bisa tergantikan oleh AI? Anda bisa menyimpulkannya sendiri.
Karya : Aminah Linda Wardani
Email : lindaa.wardani@gmail.com
0 Comments