Mencoba “Menjinakkan” sang Kecerdasan Buatan 

Uploaded by ZakaFahmi

May 19, 2023

Mencoba “Menjinakkan” sang Kecerdasan Buatan 

Oleh : Rendy Meilano

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Kita sempat dibuat terpana dan terpesona oleh fenomena kecerdasan buatan atau yang lebih  populer disebut dengan nama AI. AI atau Artificial Inteligence adalah suatu teknologi yang  memungkinkan manusia untuk memberikan kemampuan berpikir kepada sebuah benda fisik  ataupun benda digital. Dengan memberikan kode yang sesuai maka kecerdasan tersebut bisa  beradaptasi dengan kondisi sekitar dan bertindak secara otomatis menyikapi instruksi yang  diberikan kepadanya. Sebenarnya di dalam dunia digital khususnya coding ataupun gaming, hal  ini bukanlah sebuah barang baru. Istilah NPC (non-playable character) ataupun difficulty level merupakan tahap pengembangan dari sebuah AI. Namun mengimplementasikan AI kedalam dunia  literasi adalah suatu hal atau boleh penulis sebut terobosan yang tergolong baru. Munculnya  fenomena ini sendiri sebenarnya sangat lumrah dan predictable yang baru terealisasi belakangan  ini. Ibarat sebuah pedang Eropa abad pertengahan, kemunculan AI ini juga memiliki dua sisi yang  sangat paradoks. Di satu sisi -yang mungkin sesuai dengan tujuan awal pembuatnya- AI sangat  membantu manusia untuk membuat sebuah narasi terstruktur yang bebas akan indikasi plagiat  dikarenakan sifatnya yang instant-regenerate, namun disisi lain ada harga yang harus dibayar.  Manusia yang sudah cenderung ”bahagia” dimanja oleh kemudahan berbalut tajuk digitalisasi  seolah semakin malas untuk berkarya, mencipta, dan seakan lupa untuk memfungsikan sebuah  anugerah terbesar pemberian Sang Pencipta kepadanya yaitu kecerdasan. Dan bagaikan sebuah

efek domino, beberapa pihak mulai mencemaskan meluasnya “wabah malas” yang bersumber dari  lahir dan berkembangnya penggunaan sang fenomena ini. 

Ada dua hal yang penulis garisbawahi dari narasi sebelumnya. Yang pertama, kita sebagai manusia  yang notabene makhluk sempurna pemimpin di dunia hendaknya tidak perlu terlalu mencemaskan  fenomena AI tersebut. Sang Maha Kuasa telah menganugerahi kita dengan kecerdasan luar biasa  dan tiada tara. Sungguhpun AI hanya sebuah “benda” ciptaan manusia belaka. Takut berlebihan  akan sebuah ciptaan manusia hanya akan menipiskan keimanan kita kepada-Nya. Yang kedua,  kecerdasan hakiki milik manusia ini juga yang harusnya menyadarkan kita, hal yang luar biasa  harus dihadapi dengan luar biasa pula. Betapa dengan munculnya fenomena ini, timbul  kemerosotan kepercayaan publik terhadap kapabilitas dari beberapa profesi, salah satunya penulis.  Betapa penulis-penulis modern yang sudah banyak dan masih aktif berkarya pasti merasakan  dimana tulisan-tulisan mereka dianggap terindikasi dibantu oleh sang kecerdasan buatan. Yang  mana hal ini selanjutnya akan berpotensi menurunkan kepercayaan diri sang penulis, menurunkan  produktivitas dan setelah itu akan muncul kebencian yang teramat sangat kepada hal tersebut.  Namun sesungguhnya perkembangan teknologi yang luar biasa ini tidak perlu kita “musuhi”,  melainkan kita cari akar permasalahannya. Beberapa pertanyaan kemudian muncul seiring  terbersitnya niat tersebut: 

Baca juga :   Pemanfaatan IoT dalam Alat-Alat Manufaktur untuk Meningkatkan Efisiensi

“Kenapa hal ini bisa muncul ?”. 

“Apa penyebab sang pembuat menciptakan kecerdasan tersebut?”. 

Mungkin, dan hanya mungkin, kita sebagai manusia terlalu lama terlena dengan sistem baku yang  sudah berlaku sampai saat ini. Sang Maha Kuasa menuntut kita untuk senantiasa konsisten dan  berkomitmen melahirkan inovasi, memupuk rajin menguapkan malas. Termasuk dengan diri kita  sendiri. 

Sepertinya tidak keliru apabila penulis menyebutkan bahwa pihak yang terbantu dan pihak yang  terganggu dengan adanya kecerdasan buatan ini memiliki kuantitas yang kurang lebih sama. Pada  kesempatan kali ini izinkan penulis mengambil perbandingan dari dunia pendidikan. Sebuah studi  mengungkapkan bahwa sebagian besar pengguna kecerdasan buatan literasi ini adalah pelajar dan  mahasiswa. Mereka telah menganggap kecerdasan buatan ini merupakan jawaban dari segala  permasalahan yang senantiasa melekat dengan status mereka baik secara tekstual maupun 

kontekstual. Sementara disisi seberang, pun terdapat golongan pengajar, pendidik dan sebagainya  yang selain turut merasa terbantu namun juga tidak urung merasa kuatir akan kemunculan hal ini. Bagaimana mereka bisa tenang mengetahui bahwa anak-anak didik mereka mungkin saja  menyelesaikan tugas mereka dengan dibantu sang kecerdasan buatan, tanpa susah payah berpikir  memeras otak menghasilkan pemikiran mereka sendiri. Dari sini muncul kembali beberapa  pertanyaan: 

Apakah sekarang ini kita terlalu banyak menuntut anak menulis di kertas sehingga mereka  cenderung malas ? 

Ataukah kita terlalu mengandalkan esai untuk menilai sehingga pikiran menjadi lalai ?

Entahlah, yang pasti obat dan jawaban dari segala hal hanya dimiliki dan bisa dijawab oleh sang  waktu. Tetapi banyak hal yang bisa kita mulai untuk menyikapi fenomena ini, seperti salah satunya  dengan menggunakan metode NPL dalam melakukan asasemen terhadap generasi muda, sehingga  mereka tidak perlu takut akan momok yang bernama esai dan sebagainya. NPL (Neuro-Linguistic  Programming) adalah sebuah metode dimana pikiran (mind/neuro) bersinergi dengan ucapan 

Baca juga :   PERAN TEKNOLOGI KOMPUTER DI ERA GEN Z

(linguistik) dan menghasilkan poin ketiga yaitu behavior (tindakan). Terapkan pendekatan dengan  skema “Tuliskan, Sebutkan dan Lakukan”. Dengan kata lain, ada baiknya kita mulai mengubah  konsep “tuliskan ini” atau “jabarkan sesuai instruksi saya” dengan “mari ikut saya” dan “ayo kita  kerjakan bersama”. Intinya secanggih apapun teknologi yang akan berkembang nantinya, tetap  kita sebagai manusia dengan kecerdasan alamiah yang akan menentukan kemana dunia ini  berputar. Tapi tetap bersinergi dengan teknologi, bukan memusuhi atau bahkan merasa  tersingkirkan olehnya. Dan tidak pula karena teknologi, kita lalu menjadi insan yang mengalami  kemerosotan nilai moral dan disiplin diri. 

Terima kasih.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *