Mencoba “Menjinakkan” sang Kecerdasan Buatan
Oleh : Rendy Meilano
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Kita sempat dibuat terpana dan terpesona oleh fenomena kecerdasan buatan atau yang lebih populer disebut dengan nama AI. AI atau Artificial Inteligence adalah suatu teknologi yang memungkinkan manusia untuk memberikan kemampuan berpikir kepada sebuah benda fisik ataupun benda digital. Dengan memberikan kode yang sesuai maka kecerdasan tersebut bisa beradaptasi dengan kondisi sekitar dan bertindak secara otomatis menyikapi instruksi yang diberikan kepadanya. Sebenarnya di dalam dunia digital khususnya coding ataupun gaming, hal ini bukanlah sebuah barang baru. Istilah NPC (non-playable character) ataupun difficulty level merupakan tahap pengembangan dari sebuah AI. Namun mengimplementasikan AI kedalam dunia literasi adalah suatu hal atau boleh penulis sebut terobosan yang tergolong baru. Munculnya fenomena ini sendiri sebenarnya sangat lumrah dan predictable yang baru terealisasi belakangan ini. Ibarat sebuah pedang Eropa abad pertengahan, kemunculan AI ini juga memiliki dua sisi yang sangat paradoks. Di satu sisi -yang mungkin sesuai dengan tujuan awal pembuatnya- AI sangat membantu manusia untuk membuat sebuah narasi terstruktur yang bebas akan indikasi plagiat dikarenakan sifatnya yang instant-regenerate, namun disisi lain ada harga yang harus dibayar. Manusia yang sudah cenderung ”bahagia” dimanja oleh kemudahan berbalut tajuk digitalisasi seolah semakin malas untuk berkarya, mencipta, dan seakan lupa untuk memfungsikan sebuah anugerah terbesar pemberian Sang Pencipta kepadanya yaitu kecerdasan. Dan bagaikan sebuah
efek domino, beberapa pihak mulai mencemaskan meluasnya “wabah malas” yang bersumber dari lahir dan berkembangnya penggunaan sang fenomena ini.
Ada dua hal yang penulis garisbawahi dari narasi sebelumnya. Yang pertama, kita sebagai manusia yang notabene makhluk sempurna pemimpin di dunia hendaknya tidak perlu terlalu mencemaskan fenomena AI tersebut. Sang Maha Kuasa telah menganugerahi kita dengan kecerdasan luar biasa dan tiada tara. Sungguhpun AI hanya sebuah “benda” ciptaan manusia belaka. Takut berlebihan akan sebuah ciptaan manusia hanya akan menipiskan keimanan kita kepada-Nya. Yang kedua, kecerdasan hakiki milik manusia ini juga yang harusnya menyadarkan kita, hal yang luar biasa harus dihadapi dengan luar biasa pula. Betapa dengan munculnya fenomena ini, timbul kemerosotan kepercayaan publik terhadap kapabilitas dari beberapa profesi, salah satunya penulis. Betapa penulis-penulis modern yang sudah banyak dan masih aktif berkarya pasti merasakan dimana tulisan-tulisan mereka dianggap terindikasi dibantu oleh sang kecerdasan buatan. Yang mana hal ini selanjutnya akan berpotensi menurunkan kepercayaan diri sang penulis, menurunkan produktivitas dan setelah itu akan muncul kebencian yang teramat sangat kepada hal tersebut. Namun sesungguhnya perkembangan teknologi yang luar biasa ini tidak perlu kita “musuhi”, melainkan kita cari akar permasalahannya. Beberapa pertanyaan kemudian muncul seiring terbersitnya niat tersebut:
“Kenapa hal ini bisa muncul ?”.
“Apa penyebab sang pembuat menciptakan kecerdasan tersebut?”.
Mungkin, dan hanya mungkin, kita sebagai manusia terlalu lama terlena dengan sistem baku yang sudah berlaku sampai saat ini. Sang Maha Kuasa menuntut kita untuk senantiasa konsisten dan berkomitmen melahirkan inovasi, memupuk rajin menguapkan malas. Termasuk dengan diri kita sendiri.
Sepertinya tidak keliru apabila penulis menyebutkan bahwa pihak yang terbantu dan pihak yang terganggu dengan adanya kecerdasan buatan ini memiliki kuantitas yang kurang lebih sama. Pada kesempatan kali ini izinkan penulis mengambil perbandingan dari dunia pendidikan. Sebuah studi mengungkapkan bahwa sebagian besar pengguna kecerdasan buatan literasi ini adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka telah menganggap kecerdasan buatan ini merupakan jawaban dari segala permasalahan yang senantiasa melekat dengan status mereka baik secara tekstual maupun
kontekstual. Sementara disisi seberang, pun terdapat golongan pengajar, pendidik dan sebagainya yang selain turut merasa terbantu namun juga tidak urung merasa kuatir akan kemunculan hal ini. Bagaimana mereka bisa tenang mengetahui bahwa anak-anak didik mereka mungkin saja menyelesaikan tugas mereka dengan dibantu sang kecerdasan buatan, tanpa susah payah berpikir memeras otak menghasilkan pemikiran mereka sendiri. Dari sini muncul kembali beberapa pertanyaan:
Apakah sekarang ini kita terlalu banyak menuntut anak menulis di kertas sehingga mereka cenderung malas ?
Ataukah kita terlalu mengandalkan esai untuk menilai sehingga pikiran menjadi lalai ?
Entahlah, yang pasti obat dan jawaban dari segala hal hanya dimiliki dan bisa dijawab oleh sang waktu. Tetapi banyak hal yang bisa kita mulai untuk menyikapi fenomena ini, seperti salah satunya dengan menggunakan metode NPL dalam melakukan asasemen terhadap generasi muda, sehingga mereka tidak perlu takut akan momok yang bernama esai dan sebagainya. NPL (Neuro-Linguistic Programming) adalah sebuah metode dimana pikiran (mind/neuro) bersinergi dengan ucapan
(linguistik) dan menghasilkan poin ketiga yaitu behavior (tindakan). Terapkan pendekatan dengan skema “Tuliskan, Sebutkan dan Lakukan”. Dengan kata lain, ada baiknya kita mulai mengubah konsep “tuliskan ini” atau “jabarkan sesuai instruksi saya” dengan “mari ikut saya” dan “ayo kita kerjakan bersama”. Intinya secanggih apapun teknologi yang akan berkembang nantinya, tetap kita sebagai manusia dengan kecerdasan alamiah yang akan menentukan kemana dunia ini berputar. Tapi tetap bersinergi dengan teknologi, bukan memusuhi atau bahkan merasa tersingkirkan olehnya. Dan tidak pula karena teknologi, kita lalu menjadi insan yang mengalami kemerosotan nilai moral dan disiplin diri.
Terima kasih.
0 Comments