AGAMA DALAM WACANA MODERNITAS DI TENGAH  KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK) 

Uploaded by ZakaFahmi

May 23, 2023

AGAMA DALAM WACANA MODERNITAS DI TENGAH  KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK) 

Oleh: Muhammad Rabit Dino Malik 

MENYIASATI MODERNITAS DENGAN PAHAM AGAMA 

Peradaban modern ditandai dengan teraktualisasikannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi  (IPTEK) yang mencirikan sifat rasional ke tataran yang paling tinggi, menyebabkan runtuhnya  (baca : tidak diakui) entiritas segmen-segmen keagamaan. Ia tidak lagi diposisikan sebagai  kebenaran absolut melainkan lebih menjadi sekedar “tempat pelarian” manusia modern yang  merasa teralienasi dari komunitas kultural dan sosial keberagamannya. 

Sebagai agen modernisasi, Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) semula dipercaya  untuk memberi kebahagiaan dan membebaskan manusia dari alam dan sosialnya. Akan tetapi,  yang terjadi justru sebaliknya, Kehidupan modern telah melahirkan penderitaan berat dan  berkepanjangan (agony). Kerusakan moral, alienasi, kerusakan lingkungan, peperangan dan  eksploitasi alam merupakan akses modernisasi yang tidak pernah selesai. 

Fondasi rasionalitas modern yang diletakkan Decrates mengasingkan manusia dari  dunianya, dan manusia dari Tuhannya. Manusia kini, meminjam istilah Max Weber,  kehilangan daya pesona dunia. Alam dalam pandangan manusia sebagai material belaka,  dipandangn berdiri sendiri tana harus dikaitkan dengan “yang lain”, yaitu Tuhan. 

Rasionalitas modern mengalami kemacetan dalam menyediakan fungsi pencerahan bagi  kehidupan manusia karena pemikiran-Nya lebih banyak ditujukan kepada fungsi  “penguasaan”. Walaupun di satu sisi ia berhasil membongkar mitologi dan proses-proses  produksi tradisional yang kadaluarsa, tapi juga berfungsi melegitimasi dan merupakan  pembenaran proses-proses produksi baru yang dengan cara lain menindas. 

Dalam pandangan Sigmund Frued (psikolog pertama berkebangsaan Prancis), rasionalitas  modern telah terpolarisasi dengan beragamnya kepentingan, sehingga ia berpretensi sebagai  pembawa kesejahteraan, kenaikan fungsi sosial dan status kultural yang sebenarnya hanyalah  topeng drama dunia belaka. Bahkan Adorno dan Horkheimer (keduanya pemikir madzhab  Frankurt) secara berani menilai rasionalitas modern telah menjelmakan dirinya sebagai mitos  baru.

Baca juga :   Teknologi dan Wacana Eternalitas: Sebuah Penjernihan dan Optimisme Menjemput Kematian

Namun demikian, saya tidak bermaksud menafikan peran Ilmu Pengatahuan dan Teknologi  (IPTEK) dan produk rasionalitas modernnya yang diakui atau tidak telah mengantarkan  manusia ke jenjang peradaban yang tinggi (high civilization) melainkan mencoba menyiasati  kemunafikan yang terkandung di dalamnya dengan menawarkan solusi alternatif sebagai  bentuk konkret dengan cara merubah cara pandang terhadap modernitas yang opressif agar  ditukar (dibandingkan) dengan penyadaran kohesif (cohesive awareness) terhadap fitrah  manusia yang agamis. Jadi, stressing pemahaman di sini adalah pada religius metodis, bukan  empiris modernis yang supressif itu. 

AGAMA DAN PENCERAHAN 

Max Weber dalam tesis-Nya, “Die wirtschaftethik der Weltreligionerin”; Gesammulte  Aufsatse Zur Religionziologie, menegaskan bahwa konsepsi tertinggi dari doktrin keagamaan  tentang keselamatan yang mengalami sublimasi, adalah “kelahiran kembali” sesuatu konsepsi  magik purba, yang berarti diperolehnya jiwa baru melalui tindakan orgiastik atau melalui  asetisme yang direncanakan secara metodologis (Max Weber, dalam Agama dalam Analisa  dan Interpretasi Sosiologis) keadaan keagamaan yang memberikan label psikologis kepada  agama dapat dijabarkan secara sistematis menurut visi dan cara pandang yang berbeda. Namun  demikian, sistematisasi tersebut tidak mungkin dipaparkan di sini mengingat tulisan ini semata mata menunjukkan secara umum beberapa hal yang berkaitan dengan fungsi agama. 

Sebagai contoh bahwa agama merupakan kunci sakral kehidupan adalah terbedakannya  manusia yang beragama dan yang tidak beragama dalam banyak hal. Semua tokoh dan ilmuan  mengakui bahwa agama merupakan puncak keabsahan tertinggi dari keberhasilan kehidupan.  Indikasi ke arah itu dapat dilihat dari pendapat Thomas Merthon yang mengatakan bahwa  kebahagiaan hidup hanya dapat diperoleh dengan amal saleh (yang termasuk kategorisasi cara  beragama). 

Namun demikian, masih ada pemetaan cara-cara beragama legal (baca: benar). Gordon W.  Allport, seorang psikolog yang simpatik terhadap agama, mneetapkan dua cara beragama,  yaitu: 

Baca juga :   Artikel Teknologi by Miranda Marsela Putri

Pertama, eksntrensik, yaitu pandangan terhadap ama sebagai sesuatu yang hanya layak  dimanfaatkan kemudian diambil hasilnya. Bukan sebagai penyerta kehidupan (something to  use but not to live). Perlakuan eksploitatif terhadap agama di atas banyak terjadi di negara negara Barat yang Kristen terhadap Islam walaupun mungkin saja bisa terjadi di negara yang  komunitasnya muslim sekalipun. Di Kanada misalnya, seseorang yang pandai ilmu agama 

Islam dapat meraup keuntungan darinya. Pendeknya orang tersebut sama dengan ahli Fisika,  Kimia, dan lain sebagainya sebagai penentu profesi seseorang. 

Kedua, Instrinsik, dalam hal ini agama dipandang sebagai comprehensive commitment,  integrated motivating control yang mengatur segala aspek kehidupan. Dari pemahaman yang  kedua inilah hingga dapat dijadikan bukti bahwa orang yang beragama lebih sehat mentalnya  ketimbang orang yang tidak beragama.  

Perlu dicatat kiranya bahwa agama yang dimaksud di atas adalah yang disebut “religi” oleh  Prof. Kuntjaraningrat (budayawan dan rohaniawan). Tapi, tidak berarti ada dikotomi nilai  tentang apa yang didefinisikan sebagai agama. Hanya saja sekedar menunjukkan differensiasi  istilah agama dari segi arti. Dalam arti ilmiah, agama ialah suatu kepercayaan kepada  Tuhan/Dewa serta ajaran, dan kebaktian-kebaktian yang berkaitan dengan kepercayaan  tersebut secara komprehensif. Sedang dalam arti politisnya berarti suatu kepercayaan kepada  Tuhan/Dewa dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu  sejauh yang diakui oleh pemerintah masing-masing.  

Mengapa agama itu masih dan harus dikembangsuburkan? Ignes Kleden memandang itu  perlu sebab ada agama daat jawaban persoalan mendasar seputar kehidupan yang tak mungkin  didapat pada struktur ideologi apapun selainnya. Agama lebih banyak menerima ketimbang  mempermasalahkan. Ketidakpuasan atau persoalan terhadap sesuatu yang abstrak, magis,  mistis bisa diobati dengan sakramen-sakramen yang terkandung di dalamnya. Penerimaan itu  jelas bukan suatu sikap passif, karena penerimaan itu disertai resiko besar bahwa apa yang kini  diterima begitu saja bukan tak mungkin nantinya ternyata sebagai suatu yang sebetulnya tak  perlu dan tak patut diterima. Dengan lain, perkataan agama justru berangkat dari tuntutan  terhadap keberanian seseorang, yakni keberanian untuk menerima keyakinan tertentu dan atas  dasar keyakinan itu kemudian memilih untuk bertindak atas cara yang ini atau atas cara yang  lain. 

Baca juga :   Gemparnya Teknologi TV Digital yang Memenuhi Pro Kontra By : Risca Safitri Kurniawati

PENUTUP 

Dari paparan di atas, sudah jelas sekali beberapa perbedaan antara fungsi Ilmu Pengatahuan  dan Teknologi (IPTEK) yang mendewakan rasio belaka dengan pemahaman keberagaman  yang sakral dan terkadang berbau transidental. Kalau pada Ilmu Pengatahuan dan Teknologi  (IPTEK) lebih banyak menekan, opresif, ekspansif serta pola-pola konsumtif yang terkadang  irrasional. Agama berdiri sebagai suatu yang kokoh, acceptable, lebih menerima dan  mengandalkan ketenangan jiwa.

Namun demikian, tidak berarti Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) dan agama itu  tidak dapat dipadukan satu sama lain. Justru perpaduan antara di antara keduanya akan  melahirkan peradaban baru yang tidak akan tertandingi oleh peradaban macam apapun. Agama  yang memakai Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) sebagai partner, akan memiliki  keteguhan untuk mencapai peradaban yang mensejahterakan. Sedangkan Ilmu Pengatahuan  dan Teknologi (IPTEK) sendiri, kata Jalaluddin Rakhmat Msc, siapapun yang mengelolanya  maka pada akhirnya akan menuju ending point yang Islami.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *