AGAMA DALAM WACANA MODERNITAS DI TENGAH KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK)
Oleh: Muhammad Rabit Dino Malik
MENYIASATI MODERNITAS DENGAN PAHAM AGAMA
Peradaban modern ditandai dengan teraktualisasikannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang mencirikan sifat rasional ke tataran yang paling tinggi, menyebabkan runtuhnya (baca : tidak diakui) entiritas segmen-segmen keagamaan. Ia tidak lagi diposisikan sebagai kebenaran absolut melainkan lebih menjadi sekedar “tempat pelarian” manusia modern yang merasa teralienasi dari komunitas kultural dan sosial keberagamannya.
Sebagai agen modernisasi, Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) semula dipercaya untuk memberi kebahagiaan dan membebaskan manusia dari alam dan sosialnya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, Kehidupan modern telah melahirkan penderitaan berat dan berkepanjangan (agony). Kerusakan moral, alienasi, kerusakan lingkungan, peperangan dan eksploitasi alam merupakan akses modernisasi yang tidak pernah selesai.
Fondasi rasionalitas modern yang diletakkan Decrates mengasingkan manusia dari dunianya, dan manusia dari Tuhannya. Manusia kini, meminjam istilah Max Weber, kehilangan daya pesona dunia. Alam dalam pandangan manusia sebagai material belaka, dipandangn berdiri sendiri tana harus dikaitkan dengan “yang lain”, yaitu Tuhan.
Rasionalitas modern mengalami kemacetan dalam menyediakan fungsi pencerahan bagi kehidupan manusia karena pemikiran-Nya lebih banyak ditujukan kepada fungsi “penguasaan”. Walaupun di satu sisi ia berhasil membongkar mitologi dan proses-proses produksi tradisional yang kadaluarsa, tapi juga berfungsi melegitimasi dan merupakan pembenaran proses-proses produksi baru yang dengan cara lain menindas.
Dalam pandangan Sigmund Frued (psikolog pertama berkebangsaan Prancis), rasionalitas modern telah terpolarisasi dengan beragamnya kepentingan, sehingga ia berpretensi sebagai pembawa kesejahteraan, kenaikan fungsi sosial dan status kultural yang sebenarnya hanyalah topeng drama dunia belaka. Bahkan Adorno dan Horkheimer (keduanya pemikir madzhab Frankurt) secara berani menilai rasionalitas modern telah menjelmakan dirinya sebagai mitos baru.
Namun demikian, saya tidak bermaksud menafikan peran Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) dan produk rasionalitas modernnya yang diakui atau tidak telah mengantarkan manusia ke jenjang peradaban yang tinggi (high civilization) melainkan mencoba menyiasati kemunafikan yang terkandung di dalamnya dengan menawarkan solusi alternatif sebagai bentuk konkret dengan cara merubah cara pandang terhadap modernitas yang opressif agar ditukar (dibandingkan) dengan penyadaran kohesif (cohesive awareness) terhadap fitrah manusia yang agamis. Jadi, stressing pemahaman di sini adalah pada religius metodis, bukan empiris modernis yang supressif itu.
AGAMA DAN PENCERAHAN
Max Weber dalam tesis-Nya, “Die wirtschaftethik der Weltreligionerin”; Gesammulte Aufsatse Zur Religionziologie, menegaskan bahwa konsepsi tertinggi dari doktrin keagamaan tentang keselamatan yang mengalami sublimasi, adalah “kelahiran kembali” sesuatu konsepsi magik purba, yang berarti diperolehnya jiwa baru melalui tindakan orgiastik atau melalui asetisme yang direncanakan secara metodologis (Max Weber, dalam Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis) keadaan keagamaan yang memberikan label psikologis kepada agama dapat dijabarkan secara sistematis menurut visi dan cara pandang yang berbeda. Namun demikian, sistematisasi tersebut tidak mungkin dipaparkan di sini mengingat tulisan ini semata mata menunjukkan secara umum beberapa hal yang berkaitan dengan fungsi agama.
Sebagai contoh bahwa agama merupakan kunci sakral kehidupan adalah terbedakannya manusia yang beragama dan yang tidak beragama dalam banyak hal. Semua tokoh dan ilmuan mengakui bahwa agama merupakan puncak keabsahan tertinggi dari keberhasilan kehidupan. Indikasi ke arah itu dapat dilihat dari pendapat Thomas Merthon yang mengatakan bahwa kebahagiaan hidup hanya dapat diperoleh dengan amal saleh (yang termasuk kategorisasi cara beragama).
Namun demikian, masih ada pemetaan cara-cara beragama legal (baca: benar). Gordon W. Allport, seorang psikolog yang simpatik terhadap agama, mneetapkan dua cara beragama, yaitu:
Pertama, eksntrensik, yaitu pandangan terhadap ama sebagai sesuatu yang hanya layak dimanfaatkan kemudian diambil hasilnya. Bukan sebagai penyerta kehidupan (something to use but not to live). Perlakuan eksploitatif terhadap agama di atas banyak terjadi di negara negara Barat yang Kristen terhadap Islam walaupun mungkin saja bisa terjadi di negara yang komunitasnya muslim sekalipun. Di Kanada misalnya, seseorang yang pandai ilmu agama
Islam dapat meraup keuntungan darinya. Pendeknya orang tersebut sama dengan ahli Fisika, Kimia, dan lain sebagainya sebagai penentu profesi seseorang.
Kedua, Instrinsik, dalam hal ini agama dipandang sebagai comprehensive commitment, integrated motivating control yang mengatur segala aspek kehidupan. Dari pemahaman yang kedua inilah hingga dapat dijadikan bukti bahwa orang yang beragama lebih sehat mentalnya ketimbang orang yang tidak beragama.
Perlu dicatat kiranya bahwa agama yang dimaksud di atas adalah yang disebut “religi” oleh Prof. Kuntjaraningrat (budayawan dan rohaniawan). Tapi, tidak berarti ada dikotomi nilai tentang apa yang didefinisikan sebagai agama. Hanya saja sekedar menunjukkan differensiasi istilah agama dari segi arti. Dalam arti ilmiah, agama ialah suatu kepercayaan kepada Tuhan/Dewa serta ajaran, dan kebaktian-kebaktian yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut secara komprehensif. Sedang dalam arti politisnya berarti suatu kepercayaan kepada Tuhan/Dewa dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu sejauh yang diakui oleh pemerintah masing-masing.
Mengapa agama itu masih dan harus dikembangsuburkan? Ignes Kleden memandang itu perlu sebab ada agama daat jawaban persoalan mendasar seputar kehidupan yang tak mungkin didapat pada struktur ideologi apapun selainnya. Agama lebih banyak menerima ketimbang mempermasalahkan. Ketidakpuasan atau persoalan terhadap sesuatu yang abstrak, magis, mistis bisa diobati dengan sakramen-sakramen yang terkandung di dalamnya. Penerimaan itu jelas bukan suatu sikap passif, karena penerimaan itu disertai resiko besar bahwa apa yang kini diterima begitu saja bukan tak mungkin nantinya ternyata sebagai suatu yang sebetulnya tak perlu dan tak patut diterima. Dengan lain, perkataan agama justru berangkat dari tuntutan terhadap keberanian seseorang, yakni keberanian untuk menerima keyakinan tertentu dan atas dasar keyakinan itu kemudian memilih untuk bertindak atas cara yang ini atau atas cara yang lain.
PENUTUP
Dari paparan di atas, sudah jelas sekali beberapa perbedaan antara fungsi Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) yang mendewakan rasio belaka dengan pemahaman keberagaman yang sakral dan terkadang berbau transidental. Kalau pada Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) lebih banyak menekan, opresif, ekspansif serta pola-pola konsumtif yang terkadang irrasional. Agama berdiri sebagai suatu yang kokoh, acceptable, lebih menerima dan mengandalkan ketenangan jiwa.
Namun demikian, tidak berarti Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) dan agama itu tidak dapat dipadukan satu sama lain. Justru perpaduan antara di antara keduanya akan melahirkan peradaban baru yang tidak akan tertandingi oleh peradaban macam apapun. Agama yang memakai Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) sebagai partner, akan memiliki keteguhan untuk mencapai peradaban yang mensejahterakan. Sedangkan Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) sendiri, kata Jalaluddin Rakhmat Msc, siapapun yang mengelolanya maka pada akhirnya akan menuju ending point yang Islami.
0 Comments