Meme Sebagai Upaya Menangkal Propaganda Teologi di Media Sosial
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Barangkali lahir sebagai manusia memang harus siap bertikai. Ungkapan filsuf Plautus (254-184 SM) yang dipopulerkan Thomas Hobbes yakni homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) seakan takdir yang tak bisa dihindari. Bagi Hobbes, manusia cenderung memiliki nurani menyakiti dan berbuat kejam terhadap manusia yang lain, dan penindasan ini terjadi akibat ambisi yang terkonstruksi secara sosial di mata masyarakat.
Meski narasi Hobbes telah disampaikan ribuan tahun lalu, agaknya kita perlu mengamini pendapatnya. Bukan apa-apa, di zaman sekarang di mana teknologi berkembang pesat dan media sosial menjadi kebutuhan, rupanya interaksi di dunia maya menjadi bukti nyata betapa literasi digital terhadap masyarakat perlu dioptimalkan.
Entah penyebaran berita hoaks, Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO), saling mencaci, perjudian bahkan propaganda teologi seolah berlalu lalang tiap hari tanpa ada yang menyaring. Kondisi ini diperparah dengan adanya penelitian Microsoft yang dirilis pada Februari 2021, yang menyatakan pengguna internet di Indonesia menduduki peringkat terbawah se-Asia Tenggara sebagai netizen paling tidak bertata-krama.
Sialnya lagi, laporan Digital 2021: The Latest Insight Into The State of Digital menyebut di mana 170 juta dari total 274,9 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial. Artinya, tak hanya generasi Y saja yang menjadi konsumen media sosial, melainkan generasi digital natives juga memiliki peran.
Generasi digital natives terdiri dari dua golongan, yakni generasi milenial atau mereka yang lahir pada 1981-1995 dan generasi Z atau mereka yang lahir pada tahun 1996-2010. Generasi ini ibarat pisau bermata dua. Satu sisi sangat efektif dalam berinteraksi di media sosial, namun di sisi lain tak jarang menjadi alat propaganda yang bersifat provokatif.
Dalam ranah teologi, misalnya. Pada tahun 2020, FKPT Jawa Tengah menemukan pergeseran penyebaran paham radikalisme dari yang semula bersifat offline, entah pengajian, atau halaqah khusus, kini telah menyentuh media sosial. Pelakunya generasi muda, sementara yang disasar juga generasi muda.
Bahkan soal sikap intoleransi umat beragama pun, kita mudah menemuinya di media sosial. Pembubaran ibadah gereja Bandar Lampung adalah segelintir kasus yang mencuat di media sosial. Akibatnya, pertikaian tak bisa dihindari. Caci maki sesama manusia dapat kita temui di kolom komentar. Narasi media juga tidak utuh dalam merekonstruksi masalah bahkan cenderung bias dan disortif.
Keadaan ini tentu tak bisa didiamkan begitu saja. Narasi-narasi propaganda di media sosial sudah semestinya mendapatkan perhatian. Ironisnya, media sosial tak punya alat penyaring. Segala bentuk cacian tersaji tanpa tedeng aling-aling. Bahkan unggahan propaganda teologi dapat kita temui dalam hitungan detik, dan postingan tersebut mendapat dukungan dari mereka yang berpikiran senada.
Oleh karena itu, kita harus membuat gerakan guna melawan propaganda semacam ini. Salah satunya adalah dengan membuat meme lucu soal intoleransi umat beragama. Dalam jagad dunia media sosial, meme memiliki peran penting. Sebutlah dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016. Meme membentuk persepsi publik Amerika terhadap para kandidat. Entah meme Hillary atau Trump Train, semuanya menyebar dan mempengaruhi opini pemilih.
Soal efektivitas gerakan menangkal propaganda teologi dengan menggunakan meme lucu, barangkali tidak semudah menyebarkan berita hoaks yang langsung terserap benak masyarakat. Hal ini terjadi sebab diktum bad news is a good news (kabar buruk adalah berita bagus) adalah adagium yang masih bertahan sampai sekarang. Namun, diam tanpa melakukan apa-apa justru akan memperparah keadaan.
Apalagi netizen memiliki kedudukan krusial di media sosial. Pengaruh mereka sangat besar dalam menjaga ruang perdamaian di dunia virtual. Mulai dari mengawal kasus korupsi yang melibatkan kalangan elit sampai urusan sepak bola. Saya kira, cara jenaka dan kreatif di media sosial perlu kita terapkan dalam melawan propaganda teologi. Telah cukup selama ini, media sosial kita dipenuhi kepandiran tak kepalang yang berasal dari komentar-komentar bernapas cacian.
IDENTITAS PENULIS
Nurillah Achmad. Usai menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jember. Pada tahun 2019, terpilih sebagai Emerging Writer of Ubud Writers & Readers Festival. Telah menerbitkan novel Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu? (Elex Media Komputindo, 2023), novel Lahbako (Elex Media Komputindo, 2021) dan kumpulan cerpen Cara Bodoh Menertawakan Tuhan (Buku Inti, 2020). Saat ini tinggal di Jember, Jawa Timur.
0 Comments