FORCE: Hidroponik Terintegrasi IoT sebagai Optimalisasi Ketahanan Pangan Nasional guna Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan
Disusun Oleh: Bambang Siswono Sudarsono
Pada tahun 2050, dunia akan menghadapi gejolak permasalahan pangan yang diakibatkan oleh lonjakan pertumbuhan penduduk yang diprediksi akan mencapai 9,7 miliar jiwa. Jumlah tersebut merupakan 5 kali lipat dari total penduduk saat ini (United Nations Department of Economic and Social Affairs, 2019). Desakan dari pertambahan penduduk beserta kegiatan ekonominya menyebabkan dampak buruk seperti; (1) terjadinya degradasi lahan pertanian ke non pertanian (pembangunan perumahan, pabrik, dan toko), (2) kualitas kesuburan tanah yang semakin menurun akibat dampak dari kerusakan lingkungan, dan (3) semakin menipisnya persediaan air akibat penggundulan hutan yang semakin merajalela (Pendampingan Desa, 2022).
Lumbung pangan sebagai cadangan pangan masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan pangan yang bergerak dalam sektor terkecil yaitu desa dan harus memastikan setiap rumah tangga memiliki kualitas pangan yang baik. Kondisi saat ini banyak masyarakat yang masih kekurangan pangan dan memiliki ketersediaan pangan dengan kualitas yang buruk. Bahkan data yang dihimpun oleh Riset Oxfarm melalui situs resmi Oxfam yaitu www.oxfam.org.uk menyebutkan bahwa Indonesia berada di posisi 83 dari 125 negara, dalam kategori ketahanan pangan.
Indonesia identik dengan tingkat kesehatan pola makan yang baik, kecukupan pangan yang baik, keterjangkauan pangan yang cukup baik tetapi memiliki kualitas pangan yang buruk. Ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan yang baik merupakan salah satu indikator kemiskinan. Hal itu tentu berbanding terbalik dengan apa yang sering didengar melalui berbagai kanal media yang menyatakan “Indonesia adalah negara kaya”. Dengan demikian, terdapat indikasi bahwa lumbung pangan tidak menjalankan
peran dengan semestinya. Karena saat ini, lumbung pangan hanya berfungsi sebagai peminjaman dan pengembalian modal dalam bentuk natura, penggunaan pinjaman untuk kegiatan konsumsi, dan modal kerja usaha tani. Dalam prosesnya, tidak ada pendampingan bagi desa yang menyelenggarakan lumbung pangan sehingga
aktivitas pertanian tidak termonitor dengan baik. Pada akhirnya banyak masyarakat yang masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan, terutama kalangan menengah bawah dan terjadi sejak pandemi COVID-19.
Indonesia memiliki pasokan sumber daya alam yang tidak terbatas, namun terbatas dalam menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni, terutama di bidang pertanian sehingga sektor pertanian bukan menjadi sektor utama dalam menyumbang Pendapatan Domestik Bruto (PDB), tetapi menjadi sektor penopang terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) lapangan usaha pertanian atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp2,25 kuadriliun sepanjang 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 13,28% terhadap PDB nasional.
Sistem pertanian hidroponik telah diakui sebagai salah satu model yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan menguntungkan untuk meningkatkan hasil dan kualitas pertanian. Namun pada proses pelaksanaannya, diperlukan ketelitian dan kecermatan dalam pengelolaan nutrisi hingga Ph tanaman. IoT (internet of thing), sebuah infrastruktur yang menghubungkan objek virtual dan fisik, mengabaikan jarak dengan berdasarkan eksploitasi data dan kemampuan routing dapat menjadi solusi cerdas dalam mengoptimalkan sistem hidroponik (S. Evdokimov, 2010). IoT sebagai salah satu teknologi yang paling maju dapat menyediakan manajemen presisi dan navigasi cerdas untuk manajer dan pertanian cerdas baik untuk menangani strategi yang baik maupun meningkatkan produksi pertanian dan memaksimalkan efisiensi pertanian.
Dengan semakin meningkatnya permasalahan ketahanan pangan nasional maka optimalisasi di bidang pertanian harus segera dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dalam rangka memberikan solusi pada masalah tersebut, diperlukan pengembangan sistem terintegrasi dengan memperhatikan semua faktor yang mempengaruhi produktivitas di setiap proses pertanian. Oleh karena itu, pada
makalah ini peneliti membahas teknologi FORCE sebagai teknologi pengembangan pertanian cerdas berbasis smart IoT.
FORCE merupakan singkatan dari flexible controlled agriculture yang bermakna pertanian terkontrol fleksibel. Pemilihan nama tersebut didasarkan pada salah satu keunggulan produk, yakni menggunakan sistem otomatis sehingga mudah digunakan para petani dalam mengoptimalkan hasil pertanian. Dikatakan fleksibel sebab teknologi ini dapat melakukan pengaturan ph dan nutrisi untuk berbagai macam tanaman secara otomatis. Hal ini dikarenakan FORCE memiliki sistem database terkait ph dan nutrisi tanaman.
FORCE dilengkapi dengan beberapa elemen, seperti pompa air dengan relay sebagai aktuatornya (komponen untuk menggerakkan sistem), nodemcu ESP32 sebagai mikrokontroler, sensor TDS sebagai pengukur nutrisi dalam air, sensor Ph sebagai pengukur Ph air, DHT sensor sebagai pengukur suhu dan kelembaban, pompa peristaltik untuk memompa larutan nutrisi, dan spray kabut untuk menurunkan suhu yang tinggi. Selain itu, juga terdapat panel surya sebagai sumber energi listrik FORCE dengan mentransformasikan sinar matahari menjadi energi listrik sehingga sangat ramah lingkungan.
Adapun cara kerja dari teknologi FORCE ini, yaitu (1) panel surya mentransformasikan sinar matahari menjadi energi listrik; (2) sollar controller mengatur arus listrik yang disalurkan ke aki sebagai penyimpan energi listrik; (3) tegangan yang masuk menghidupkan nodemcu ESP32 sebagai mikrokontroler dari segala inputan data dari sensor dan terkoneksi ke aplikasi; (4) relay sebagai trigger tegangan yang masuk untuk menghidupkan dan menonaktifkan pompa air secara otomatis dengan menerima data dari nodemcu ESP32; (5) pompa air mengalirkan air dan nutrisi dari tangki nutrisi ke tanaman secara otomatis; (6) DHT sensor memberikan data suhu dan kelembapan ke nodemcu ESP32, apabila suhu terdeteksi tinggi di atas rata-rata maka secara otomatis spray kabut akan menyala untuk menurunkan suhu ke suhu normal; (7) sensor Ph Memberikan data kadar ph larutan ke nodemcu ESP3; (8) sensor TDS memberikan data nutrisi dalam larutan ke nodemcu ESP32, apabila kadar nutrisi tidak sesuai dengan data kadar nutrisi tanaman maka secara otomatis aktuator pompa peristaltic menyesuaikan kadar nutrisi sesuai dengan database nutrisi tanaman; (9) aplikasi sebagai output yang berfungsi sebagai monitor secara realtime dari data-data yang dihasilkan sehingga para pengguna dapat memantau seluruh aktivitas yang ada di sistem hidroponik. seperti penyesuaian ph dan nutrisi.
Dengan penerapan teknologi IoT (Internet of Things) pada sistem pertanian hidroponik, maka parameter lingkungan pada sistem hidroponik bisa diakses dari jarak jauh dan menghasilkan sistem hidroponik yang cerdas. Maka dari itu, dalam penelitian ini peneliti merancang sebuah teknologi yang diberi nama “FORCE” sebagai teknologi pertanian berkelanjutan dalam mendukung optimalisasi ketahanan pangan nasional. Terdapat beberapa keunggulan dari FORCE, yakni fleksibel dan mudah digunakan, hemat lahan, parameter-parameter telah disesuaikan dengan kondisi lokal, efektif dan efisien dalam meningkatkan hasil pertanian.. Diharapkan dengan adanya inovasi teknologi FORCE ini, dapat membantu mensukseskan ketahanan pangan nasional dan mengoptimalkan kualitas dan hasil pertanian di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. (2022). “Rekrutmen Pendamping Desa Tahun 2022”. Diakses dari https://pendampingdesa.com/rekrutmen-pendamping-desa-tahun-2022/
Evdokimov, S., Fabian, B., Günther, O., Ivantysynova, L., & Ziekow, H. (2011). “RFID and the Internet of Things: Technology, applications, and security challenges”. In Foundations and Trends in Technology, Information and Operations Management (Vol. 4, Issue 2). https://doi.org/10.1561/0200000020
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5360).
United Nations Department of Economic and Social Affairs. (2019). “Growing at a slower pace, world population is expected to reach 9.7 billion in 2050 and could peak at nearly 11 billion around 2100”. Diakses dari https://www.un.org/development/desa/en/news/population/world
population-prospects-2019.html
0 Comments